About Me

My photo
Merauke, Papua, Indonesia
Aku menulis untuk mengapresiasi dunia yang warna-warni, seperti pelangi. Biarlah warna-warni itu tetap warna-warni. Tak ada yang mendominasi, tak ada pula yang termarginalisasi. Semua tampil apa adanya dan setara. Semua saling memahami dengan penuh empati. Harmoni pelangi warna-warni.

Thursday, December 2, 2010

Check In Hotel a'la Paimin dan Painem*

ide-moechah.blogspot.com
             Paimin, asal Wonosari, karena kemaleman di jalan, mau menginap di hotel Arjuna Jogja. Setelah memarkir sepeda onthelnya, si Paimin menuju meja yang tertulis receptionist, yang kebetulan dijaga oleh Painem yang asli orang Bantul.
“Selamat sore, Mbak… Saya mau menginap di hotel ini.”
“O ya, Bapak. Bapak sudah booking sebelumnya?”
“Apa, Mbak? Bokong…?”
“Bukan bokong, Bapak…, tapi booking. Ehmm…, maksud saya memesan kamar sebelumnya.”
“Oh, memesan kamar… Belum, Mbak.”
“Kapan Bapak mau check in? Sekarang?
“Apa, Mbak? Kencing?”

Monday, November 29, 2010

Tak Ada Mama Baru di Jogja, Anakku*

anak&istriku-dokument pribadi
Hari ini aku belum mendengar suara anak dan istriku. Memang, tadi pagi, seperti biasanya, aku sudah dibangunkan oleh sms mereka, tapi telinga ini rasanya belum puas kalau belum mendengar celoteh mereka secara langsung.
Ya, kami memang hidup terpisah. Aku di Jogja, dan anak-istriku di Merauke, kota kecil terpencil tempatku bertugas. “Papa usahakan kuliah papa cepat selesai,” begitu aku selalu meyakinkan harapan dan keinginan mereka agar aku cepat pulang.
Seperti yang kuduga dan seperti hari-hari biasanya, jam setengah tujuh sore, istriku menelponku.
“Halo, Ma…”
“Halo, Papa. Lagi apa?”
“Lagi tunggu telpon dari kalian berdua. Kalian lagi apa?”
“Ini baru selesai kasih suap Iel. Sore ini Iel makan banyak, Pa…”
“Iya, Papa,” anakku ikut nimbrung, suaranya terdengar agak jauh dari ponsel, “saya makan banyak sekali.”

Sunday, November 7, 2010

Eidelweis*

ellisfd.blogspot.com
ellisfd.blogspot.com
26 Oktober, 2110
      “Kakek, ceritakan kepadaku tentang cinta sejati…”
      Si kakek pun menceritakan sebuah kisah tentang cinta sejati.
      “Kakek, ceritakan kepadaku tentang pengorbanan…”
      Si kakek pun menceritakan sebuah kisah tentang pengorbanan.
      “Kakek, tunjukkan padaku indahnya cinta sejati dan pengorbanan…”
      Si kakek membawa cucunya itu ke sebuah dusun, dusun yang sepi dan tak berpenghuni lagi, hanya ada hamparan eidelweis yang menari dan berlenggok bersama angin.

Anakku Jualan Tempe*

cakrawalainfo.com
      Jam enam pagi. Putri sudah menyelesaikan tugas rutinnya, menggoreng tempe. Setumpuk tempe goreng kini sudah tertata rapi di loyang, tinggal dijajakan.
      “Bu, hari ini Ibu gak usah jualan. Ibu istirahat saja di rumah, biar cepat sembuh. Tempenya biar Putri bawa ke sekolah saja, nanti Putri titipkan di kantin.”
      “Kamu tidak malu, Nak?”
      “Tidak apa-apa, Bu. Pekerjaan halal kok, kenapa harus malu?”

Peti Mati Kembar*

kaskus.us
      Seorang perempuan paruh baya. Nanar matanya, menyorotkan kebencian, menebar ancaman. Ia memesan peti mati. Dua buah, kembar. Kecil ukurannya, tidak wajar.
      “Ah, pokoknya dibuat saja, Pak. Sesuai dengan ukuran yang saya minta.”

Monday, October 4, 2010

Salib dari Ipul*

      Sore itu, di bulan ramadhan, aku sedang menyirami bunga dan rumput gajah di taman depan rumahku. Entah dari mana datangnya, Ipul - anak tetangga sebelah, 10 tahunan usianya -  tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Dia mengenakan kopiah putih. Tampaknya dia sudah mandi - aroma harum sabun mandi sempat mampir di hidungku - dan sedang menunggu waktu berbuka puasa. Tangannya memegang sebuah mainan, entah apa namanya.
      “Om, lihat mainanku,” katanya sambil memamerkan sebuah mainan mirip rubik.
      “Ooh, bagus sekali. Apa namanya itu?”
      “Nggak tahu. Bapak yang belikan di Malioboro.”

Sunday, October 3, 2010

Sholat di Gereja*

Ilustrasi/Admin (shutterstock)       Ada mushola kecil di kompleks perumahanku. Setiap  malam di bulan Ramadhan, semua warga ber-sholat tarawih di mushola kecil itu. Tapi aku dan keluargaku tidak penah ikut. 
      Suatu malam, ketika sholat tarawih selesai, aku kebetulan sedang duduk di teras rumahku. Pak Imam, bersama anak laki-lakinya – Ipul namanya, kira-kira 10 tahunan umurnya -  pulang melewati depan rumahku. Seperti biasa, kami bertegur sapa.
      “Kundur, Pak Imam?” sapaku.
      “Inggih, Pak Abet. Wah, sedang nyantai ini?”
      “Iya, Pak Imam. Di dalam panas….”
      “Monggo, Pak Abet.”
      “Inggih. Monggo-monggo, Pak Imam.”
      Mereka belum melewati depan rumahku - aku masih bisa mendengarnya dengan jelas - ketika si Ipul bertanya kepada Bapaknya, “Pak, kenapa Om itu tidak sholat?”
      “Hush!!!” hardik Pak Imam. “Ayo cepat pulang!”